DIA terlihat seperti anak sang
pekerja yang dilanda nestapa dalam film The
Bicycle Thieves. Namanya Guntur, usianya baru 5 tahun, namun raut wajahnya
sudah seperti orang yang sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi ajalnya.
Aku tahu kenapa ia berwajah murung seperti itu, orang tuanya sedang bertengkar
karena Ayahnya punya simpanan lain. Mulut-mulut bangsat para guru wanita itulah
yang membuatku tahu masalah Guntur. Di saat di mana ruang guru seharusnya
menjadi tempat untuk berdiskusi tentang pelajaran atau rencana pendidikan para
murid kedepan, para guru malah
membicarakan keburukan para orang tua murid, telingaku pun mau tak mau terpaksa
mendengar mulut mereka membicarakan hal-hal yang tidak mengenakan. Suatu ketika
aku pernah mendengar seorang guru membicarakan tentang Ayah salah satu murid
yang selingkuh dengan pasangan gay-nya,
atau Ibu salah satu murid yang hamil di luar nikah dan mesti membesarkan
anaknya yang tertular HIV AIDS. Jujur saja, aku bukanlah penikmat diskusi nista
seperti itu, kalimat penghakiman yang mereka lontarkan selalu membuatku gusar
dan muak. Kenapa orang selalu lebih suka menceritakan keburukan orang lain
ketimbang menceritakan kebaikan orang lain?
“Kamu belum dijemput oleh Ibumu, Tur?”
tanyaku saat menghampirinya yang duduk di depan gerbang sekolah, mencoba
membuka percakapan.
“Belum Pak, Ibu selalu terlambat
45 menit menjemput saya.”
Guntur selalu dijemput paling akhir.
Saat teman-temannya sudah sampai di rumah, mengganti seragam yang dipenuhi
bekas air keringat dengan pakaian kebebasan, Guntur masih tetap menunggu Ibunya
datang menjemputnya. Jam menunjukan pukul 10:30, masih ada waktu sekitar 15-20
menit untuk menemani Guntur.
“Mumpung Ibumu mungkin masih lama
menjemputmu, ayo, Bapak temani kamu ngomong.”
Guntur masih terdiam membisu.
“Guntur, kenapa wajah kamu murung
begitu, kamu ada masalah di sekolah?”
“Tidak Pak.”
“Lalu?”
“Kemarin Ibu menyirami rumah
dengan bensin sambil menangis, katanya ibu mau bakar rumah karena Ayah masih
terus berhubungan dengan pacar Ayah.”
Dia tidak menangis saat
mengatakan kalimat barusan, hanya saja, wajahnya menjadi hampa, seakan-akan tak
terlihat tanda-tanda kehidupan seorang
anak TK nol besar di wajah kecilnya itu. Sama sekali tidak terlihat.
“Saya takut Pak.” ucapnya.
“Takut apa?”
“Saya takut saya akan berubah
menjadi seperti Ayah. Saya takut akan masa depan.”
“Guntur, Bapak yakin, di saat
kamu dewasa nanti, kamu akan menjadi orang yang baik.” ucapku berusaha
menghibur.
“Apa Bapak bisa menjaminnya?”
tanyanya yakin.
“Maksudmu?”
“Apa Bapak bisa menjamin saya
bisa menjadi orang yang benar-benar baik? Maksud saya, banyak dari penghuni
penjara yang juga mempelajari mana baik mana jahat saat TK seperti saya. Banyak
juga koruptor yang saat masih kecil ingin menjadi orang baik dan jujur. Dan
banyak orang-orang yang pada awalnya ingin setia dengan pasangannya dan
berjanji untuk tidak akan pernah mendua. Namun kenapa pada akhirnya mereka
melanggar janji dan mengkhianati hati nurani mereka pak?”
Aku tidak percaya kalau
pertanyaan seperti itu keluar dari mulut bocah berumur 5 tahun. Aku hanya bisa
melemparkan pandangan ke jalanan, berusaha untuk tidak menatap nanar matanya
yang tajam.
“Masa depan membunuh mereka.
Waktu bisa merubah sesuatu yang benar-benar baik menjadi sesuatu yang dipenuhi
kejahatan. Semakin lama seseorang hidup di dunia, semakin besar pula
kemungkinan ia menjadi seseorang yang sepenuhnya hitam. Saya takut saya akan berubah
menjadi seperti itu, Pak.”
“Tapi Guntur, kamu sendirilah
yang akan menentukan kamu akan menjadi seperti apa. Apakah kamu akan menjadi
orang baik, atau orang jahat, itu semua tergantung pilihanmu. Karena kamu
sendirilah yang menentukan masa depanmu, bukan siapapun.” timpalku berusaha
mengimbangi perkataannya.
“Bapak percaya Tuhan?” balasnya.
Jika ada orang yang bertanya aku
mendalami agama apa, mungkin pertanyaan itu masih wajar walaupun agak tidak
etis. Tapi hari ini, ada anak TK yang
bertanya apakah aku percaya Tuhan atau tidak. Hari ini memang hari teraneh yang
pernah kualami selama tahun ini.
“Ya, bapak percaya.”
“Kalau begitu bapak percaya
takdir?” Tanyanya lagi, sambil menggerak-gerakan botol minum bergambar beruang
dengan pakaian jeans biru yang menggantung di lehernya.
“Tidak, bapak tidak percaya
takdir. Buat bapak, bapak sendirilah yang memilih jalan hidup bapak.”
“Maaf kalau saya lancang pak,
tapi menurut saya, sangat tidak masuk akal kalau ada orang yang percaya Tuhan,
tapi tidak percaya dengan yang namanya takdir.” Jawabnya secara lantang.
Aku melongo keheranan mendengar
ucapan seperti itu keluar dari mulut Guntur.
“Masih banyak orang yang merasa
kalau hidup ini terlihat seperti mobil yang berada di persimpangan jalan, para pengemudinya
berusaha untuk mencari jalan terbaik tanpa tahu apa yang akan menanti mereka di
ujung jalan. Itu sebenarnya hanya ilusi semata. Padahal, hidup ini seperti rel
kereta api, tiap manusia memiliki kereta dan relnya masing-masing, mereka hanya
tidak menyadarinya saja. Bapak mengerti maksud saya kan?”
Perkataannya barusan benar-benar
menamparku dengan telak. Seharusnya anak seusianya membicarakan tentang kartun
yang ditayangkan pada hari minggu, atau membicarakan warna mana yang cocok
untuk warna baju Budi dalam buku gambar, tetapi anak ini malah membahas konsep
predestinasi.
“Jadi maksudmu, kamu takut kalau
kamu diciptakan untuk menjadi sesuatu yang buruk?”
“Iya, saya khawatir kalau saya
pada akhirnya akan menjadi sama dengan orang-orang itu. Orang-orang yang
diciptakan untuk menjadi titik-titik hitam yang mengotori dunia yang putih ini.
Darah Ayah saya mengalir dalam diri saya. Mau bagaimanapun juga, sifatnya akan
menurun ke saya.”
“Jadi menurutmu Tuhan menciptakan mereka dengan sengaja untuk menjadi sesuatu yang jahat?”
Ia pun mengangguk tanpa
mengeluarkan suara.
“Kalau begitu, kamu beranggapan
kalau Tuhan itu mempermainkan umat manusia.” balasku.
“Tapi, kalau saya tidak
menganggapnya demikian, berarti itu sama saja dengan saya sudah membunuh Tuhan.
Kalau saya tidak menganggap Tuhan memang mempermainkan manusia, dan menganggap
kalau kehendak bebas itu ada, berarti secara tidak langsung, saya menghilangkan
unsur kemahatahuan Tuhan. Jika Tuhan tidak lagi maha tahu, maka Dia bukanlah
lagi.... “ Guntur menghentikan perkataannya, berusaha untuk tidak melanggar
garis batas kalimat yang pantas untuk diucapkan oleh anak TK.
Aku merasa wajar jika aku kalah
berdialog dengan teman-teman sebaya atau seniorku, tapi perkataannya barusan
benar-benar membuatku bergidik ngeri.
“Kalaupun pada akhirnya Tuhan
memang menciptakanmu untuk menjadi kumpulan dari titik-titik hitam itu, kamu
tahu darimana Guntur? Kamu masih berumur 5 tahun, kamu tidak akan tahu waktu
akan membawamu ke mana. Tidak ada yang bisa menjamin kamu pada akhirnya akan
menjadi seperti apa.”
“Tapi sayangnya, entah ini
kutukan atau bukan, saya bisa melihat masa depan saya sendiri, Pak. Saya bisa
melihat pada akhirnya saya akan menjadi seperti apa.” jawabnya dengan raut muka
yang agak sedih, namun terlihat tegas.
Tiba-tiba saja, Honda Civic milik Ibu Guntur kini sudah berada di depan kami. Tanpa disadari, 10 menit
sudah berlalu. Hari ini Ibu Guntur menjemput Guntur 5 menit lebih cepat dari
biasanya.
“Guntur!”
teriak Ibunya.
Guntur pun berjalan ke arah mobil,
dan sebelum ia membuka pintu mobil, ia menoleh ke arahku dan berkata:
“Saya pulang dulu pak. Sampai
jumpa lagi, entah di mana.” Ucapnya dengan nada yang kering, seolah-olah ini
pertemuan kami yang terakhir.
“Ya, sampai berjumpa lagi,
Guntur.”
Honda Civic Ibu Guntur pun
melesat meninggalkan gerbang sekolah TK Maksud Bersama. Meninggalkanku yang
masih terbujur kaku setelah mendengarkan
ucapannya barusan.
“Saya bisa melihat masa depan
saya sendiri, Pak.”
Anak-anak jaman sekarang memang
menyeramkan.
***
Ternyata Guntur salah, ia tidak
akan pernah menjadi bagian dari titik-titik hitam itu. Keesokan harinya, ada sebuah
berita buruk yang menghebohkan sekolah, Honda Civic milik Ibu Guntur mengalami
kecelakaan fatal. Guntur dan Ibunya tewas seketika karena amukan api yang
menghanguskan mobil mereka. Belakangan para penyelidik dari kepolisian
menyimpulkan kalau Ibu Guntur memang merencanakan bunuh diri dengan menabrakan
mobilnya ke pembatas flyover. Padahal
ada cara bunuh diri yang lebih pantas dan nyaman, tapi kenapa masih ada saja
orang yang lebih memilih mati dengan cara menyakitkan seperti itu?
Teman-teman Guntur menangis
karena kehilangan Guntur, para guru pun turut berbelasungkawa. Aku yakin, tangisan mereka itu hanya akan bertahan selama 1-2
hari saja, karena begitu manusia mati, mereka akan berdiam di suatu tempat dan
terlupakan oleh mereka yang masih bisa berpindah-pindah tempat. Ditinggal dan
dilupakan oleh waktu yang terus berjalan. Aku pun sebenarnya turut sedih atas kematian Guntur, tapi di satu sisi aku merasa
lega, karena seandainya ramalan Guntur benar, ia tidak akan pernah menjadi
bagian dari titik-titik hitam itu.
Dalam perjalanan pulang, sambil
mendengarkan There There karya Radiohead, aku mendadak berpikir,
mungkin Tuhan sadar kalau Ia salah. Ia salah karena sengaja menciptakan Guntur
untuk menjadi bagian dari mereka,
sehingga Tuhan dengan berbaik hati mencabut nyawa Guntur. Atau barangkali,
Tuhan memang sengaja membuat Guntur mengalami kematian tragis seperti itu,
membuat teori rel kereta api Guntur menjadi benar. Atau mungkin, sebenarnya
Guntur sudah tahu kalau sebentar lagi, hidupnya akan segera berakhir, makanya
wajahnya kemarin benar-benar kosong. Wajah seorang manusia yang sedang
bersiap-siap untuk menghadapi ajal yang akan segera menghampirinya.
“We are accident, waiting, waiting, to happen.” ucap Thom Yorke
yang seakan-akan sedang menjawab pertanyaanku.
Tuhan memang bekerja dengan cara
yang misterius, pikirku hari itu.
5 Mei 2014